Beranda | Artikel
Hukum Mempelajari Ilmu Kalam
Sabtu, 27 Mei 2023

Pertanyaan:

Izin bertanya ustadz, sebenarnya apa yang dimaksud dengan ilmu kalam dan bagaimana hukumnya? Apakah ilmu kalam sekarang masih ada yang mempelajari? Jazakumullah khayran.

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Ilmu kalam adalah ilmu yang mempelajari agama dengan mengedepankan logika daripada dalil. Orang yang menekuni dan mengamalkannya disebut ahlul kalam. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: 

أن أهل الكلام هم الذين اعتمدوا في إثبات العقيدة على العقل

Ahlul kalam (orang yang belajar ilmu kalam) adalah orang-orang yang bersandar pada akal dalam menetapkan perkara-perkara akidah” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman nomor 276).

Ahlul kalam menggunakan dalil, namun ketika dalil nampak bertentangan dengan akal menurut mereka, maka akal lebih dikedepankan daripada dalil. Akal adalah patokan kebenaran menurut mereka.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menjelaskan: “Ilmu kalam disebut demikian karena mereka terlalu banyak kalam (bicara) dan terlalu banyak argumen. Padahal perkara yang dibahas sederhana saja. Namun Anda dapati mereka membahas satu masalah akidah kemudian menulisnya berlembar-lembar tanpa ujung dan tanpa faedah. 

Mereka membahas muqaddimah dan konsekuensi yang panjang lebar, yang andaikan itu tidak ada, tentu akan lebih baik dan lebih berkah. Oleh karena itu kebanyakan ulama kalam yang mencapai puncak ilmu kalam, justru mereka menyesal” (Ta’liq ‘ala Muqaddimah Al-Majmu’, hal. 74).

Larangan Belajar Ilmu Kalam

Para ulama Ahlussunnah sepakat melarang mempelajari ilmu kalam dan mereka sepakat mencela ahlul kalam. Al-Baghawi rahimahullah mengatakan:

واتفق علماء السلف من أهل السنة على النهي عن الجدال والخصومات في الصفات، وعلى الزجر عن الخوض في علم الكلام، وتعلمه

“Para ulama salaf dari kalangan Ahlussunnah bersepakat melarang perdebatan dalam bab sifat Allah, dan bersepakat melarang menceburkan diri dalam ilmu kalam dan mempelajarinya” (Syarhus Sunnah Al-Baghawi, 1/216).

Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan:

أجمع أهل الفقه والآثار من جميع الأمصار أن أهل الكلام أهل بدع وزيغ ولا يعدون عند الجميع في طبقات الفقهاء

“Seluruh ulama fiqih dan hadits dari berbagai penjuru dunia sepakat bahwa ahlul kalam adalah ahlul bid’ah dan sesat, mereka tidak dianggap dalam semua tingkatan ahli fiqih” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/942).

Bahkan Imam Asy-Syafi’i tegas mencela ilmu kalam. Beliau berkata kepada ar Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah:

لا تشتغل بالكلام فإني اطلعتُ من أهل الكلام على التعطيل

“Janganlah engkau menyibukkan diri dengan ilmu kalam, karena aku telah mengamati ahlul kalam, dan mereka cenderung melakukan ta’thil (menolak sifat-sifat Allah)” (Siyar A’lamin Nubala, 10/28).

Beliau juga berkata:

حكمي في أهل الكلام أن يُضربوا بالجريد ويحملوا على الإبل ويطاف بهم في العشائر والقبائل ويُنادى عليهم: هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأقبل على الكلام

“Sikapku terhadap ahlul kalam adalah menurutku hendaknya mereka dipukul dengan pelepah kurma, kemudian ditaruh di atas unta, lalu diarak keliling kampung dan kabilah-kabilah. Kemudian diserukan kepada orang-orang: inilah akibat bagi orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengikuti ilmu kalam” (Siyar A’lamin Nubala, 10/28).

Imam An-Nawawi mengatakan :

وَقَدْ بَالَغَ إمَامُنَا الشَّافِعِيُّ رحمه الله تعالى:فِي تَحْرِيمِ الِاشْتِغَالِ بِعِلْمِ الْكَلَامِ أَشَدَّ مُبَالَغَةٍ، وَأَطْنَبَ فِي تَحْرِيمِهِ، وَتَغْلِيظِ الْعُقُوبَةِ لِمُتَعَاطِيهِ، وَتَقْبِيحِ فِعْلِهِ، وَتَعْظِيمِ الْإِثْمِ فِيهِ فَقَالَ: ” لَأَنْ يَلْقَى اللَّهُ الْعَبْدَ بِكُلِّ ذَنْبٍ مَا خَلَا الشِّرْكَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَلْقَاهُ بِشَيْءٍ مِنْ الْكَلَامِ “، وَأَلْفَاظُهُ بِهَذَا الْمَعْنَى كَثِيرَةٌ مَشْهُورَةٌ

“Imam kita Asy-Syafii telah sangat keras mengharamkan untuk menyibukkan diri dengan ilmu kalam. Beliau sangat tegas dalam mengharamkannya, beliau keras dalam menetapkan hukuman bagi orang yang simpati kepadanya, menganggap jelek perbuatannya, serta menyebutkannya sebagai besar dosanya.

Bahkan Asy Syafi’i berkata: “Kalau seandainya Allah menemui seorang hamba dengan membawa dosa selain kesyirikan, itu lebih baik daripada bertemu Allah dengan membawa ilmu kalam”. Dan ungkapan-ungkapan beliau yang semakna dengan ini sangat banyak dan masyhur” (Al-Majmu’, 1/25).

Oleh karena itu jelas bahwa tidak diperbolehkan sama sekali mempelajari ilmu kalam dan tidak boleh menggunakan ilmu kalam dalam mempelajari agama.

Beragama Itu Bukan dengan Mengedepankan Akal

Patokan kebenaran bukanlah akal, melainkan wahyu yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al-Baqarah: 185).

Oleh karena itu ketika seseorang mengusap khuf ketika berwudhu, yang diusap adalah bagian atas dari khuf bukan bagian bawahnya. Padahal kita tahu bersama bahwa yang kotor adalah bagian bawahnya. Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama dengan ra’yu (logika), maka tentu bagian bawah khuf (alas kaki) lebih layak untuk diusap (ketika berwudhu) daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khuf-nya (ketika berwudhu)” (HR. Abu Daud no. 162. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melarang sesuatu yang menurut akal para sahabat itu adalah perkara yang bermanfaat. Namun para sahabat tetap taat kepada Rasulullah dan tidak mengedepankan akal mereka. Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, ia berkata:

نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548).

Demikian juga Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, beliau mencium hajar aswad tanpa mempertanyakan apa dan mengapa? Sekedar dalam rangka untuk mengikuti Sunnah Nabi. Beliau berkata:

إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no.1605, Muslim no.1270).

Syaikh Shalih As Suhaimi ketika menyebutkan atsar ini, beliau mengatakan, “Jika seseorang mengetahui hikmah dari suatu syari’at, maka itu kebaikan di atas kebaikan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, tetap wajib baginya untuk menerima syari’at tersebut dengan lapang dada. Karena akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui semua hikmah. 

Para sahabat ridwanullah ‘alaihim ajma’in mereka semua melaksanakan perintah-perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mempertanyakan apa hikmahnya” (Mudzakkirah fil Aqidah, hal. 6).

Namun kita yakin, pasti ada hikmah yang besar di balik setiap ajaran syari’at. Dan pasti Allah syari’atkan itu semua untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Sebagaimana kaidah yang disebutkan para ulama:

الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً

“Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan” (Qawaid Wal Ushul Al-Jami’ah, hal.27).

Akal Dipuji dalam Agama, Namun Bukan Patokan Kebenaran

Tentu saja bukan berarti kita tidak membutuhkan akal! Bahkan akal adalah nikmat yang besar dari Allah ta’ala. Allah ‘azza wa jalla berfirman :

وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dialah yang menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati (akal), supaya kalian bersyukur” (QS. An-Nahl: 78).

Orang yang menggunakannya juga dipuji oleh Allah ta’ala. Allah ‘azza wa jalla berfirman :

وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dia pula yang mengatur pergantian malam dan siang. Tidakkah kalian berpikir?!” (QS. Al-Mukminun: 80).

Allah ‘azza wa jalla juga berfirman :

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

“Katakanlah: samakah antara orang yang buta dengan orang yang melihat?! Tidakkah kalian memikirkannya?!” (QS. Al-An’am: 50).

Ayat-ayat yang semisal ini banyak sekali. Akal juga dipuji dalam hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا 

“Semoga Allah memberikan nudhrah (cahaya di wajah) kepada orang yang mendengarkan sabdaku lalu ia memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya” (HR. Ibnu Majah no. 2498, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda :

مَنْ يُرِدْ اللهُ بهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan dipahamkan dalam agamanya” (HR. Al-Bukhari no. 69, Muslim no.1719)

Dalam hadits-hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memuji orang yang memahami hadits-hadits Nabi. Dan untuk memahami tentu butuh akal. 

Namun demikian, bukan berarti lantas kemudian menuhankan akal dan menjadikannya patokan kebenaran. Akal itu sekedar sarana untuk memahami kebenaran dan akal itu terbatas. Oleh karena itu akal membutuhkan bimbingan dalil untuk mengetahui kebenaran, ia tidak bisa berdiri sendiri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Akal merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai itu semua), akal bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan kemampuan dan kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada pada mata. Maka apabila akal itu terhubung dengan cahaya iman dan al-Qur’an, maka itu ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api” (Majmu Al-Fatawa, 3/338).

Ilmu Kalam di Zaman Sekarang 

Tentu saja ilmu kalam masih ada di zaman sekarang, baik disadari atau tidak, baik terang-terangan atau terselubung. Karena kita dapati masih banyak orang-orang yang mengedepankan akal ketika berbicara masalah agama. Ini adalah pengaruh dari tersebarnya ilmu kalam. 

Ilmu kalam di zaman sekarang lebih dikenal dengan ilmu filsafat atau ilmu mantiq. Disebutkan dalam kamus Mu’jam Al-Wasith, bahwa definisi ilmu filsafat adalah:

دراسةُ المبادئ الأُولى وتفسير المعرفة تفسيرًا عقليًّا

“Ilmu yang mempelajari prinsip dasar dalam menggunakan akal dan menjelaskan pengetahuan dengan akal”.

Maka, memang secara definitif ada perbedaan antara filsafat dan ilmu kalam, filsafat itu ilmu cara berpikir secara umum, sedangkan ilmu kalam itu dalam ranah akidah atau ranah agama.

Namun dalam hal ini berlaku umum dan khusus. Dan bisa dari dua sisi pandang:

  1. Ilmu filsafat sifatnya umum, jika secara khusus digunakan untuk membahas agama, maka jadilah ilmu kalam. 
  2. Ilmu kalam bersifat umum, jika metode yang digunakan dalam menetapkan masalah akidah adalah metode filsafat, maka ketika itu ilmu filsafat termasuk ilmu kalam.

Oleh karena itu, tidak keliru jika dikatakan ilmu filsafat itu termasuk ilmu kalam atau sebaliknya. 

Sedangkan definisi ilmu mantiq dalam Mu’jam Al-Wasith,

المَنْطِقُ عِلْمٌ يَعْصِم الذِّهن من الخطإِ في الفكر

Al-mantiq adalah ilmu yang menjaga akal dari kekeliruan cara berpikir”.

Sehingga ilmu mantiq memiliki sisi kesamaan dengan ilmu filsafat. Namun, ilmu mantiq lebih spesifik membahas tentang hadd wal qiyas (batasan masalah dan analogi).

Dan bukan berarti semua ilmu tentang logika itu tercela. Yang tercela adalah jika sampai membawa kepada keyakinan bahwa akal harus didahulukan daripada dalil. 

Jika penjelasan di atas telah dipahami, akan diketahui bahwa ilmu kalam masih ada sampai sekarang. Bahkan banyak buku-buku dan kitab-kitab yang memuatnya dan diajarkan di sekolah-sekolah serta kampus-kampus. Oleh karena itu hendaknya setiap kita waspada terhadapnya dan banyak meminta kepada Allah hidayah dan taufik agar dijauhkan dari segala bentuk pemahaman yang menyimpang. 

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/42160-hukum-mempelajari-ilmu-kalam.html